Awalnya aku diajak oleh bapak ke sawah.
Ke sawah bapak. Jaraknya cukup lumayan dari rumah. "Lor kali" kita menyebutnya. Karena sawahnya berada di utara dari sungai. Kata "lor" artinya adalah utara.
Sebelum lanjut. Bapak ku adalah petani. Hampir setiap hari beliau ke sawah. Bagi bapak ke sawah itu wajib. Sepertinya begitu. Karena setelah sholat subuh, bpk menyiapkan barang-barang yang perlu dibawa ke sawah. Terkadang bapak tanpa membantu ibu melakukan pekerjaan rumah.
Waktu itu adalah hari kamis.
Agak sore memang. Sekitar selesai sholat ashar, kira-kira jam 16.30 WIB.
Bapak mengajak ku, bukan mengajak, lebih tepatnya adalah menyuruhku memboncengkan beliau ke sawah karena cuma aku satu-satunya anak beliau yang ada di rumah.
Itu musim penghujan. Air di sungai hampir luber.
Alasan bapak ke sawah sore itu adalah untuk menutup tambak air yang ada ditepi sawah bapak. Sebagai pembatas langsung antar sawah dengan sungai. Tadi pagi bapak membuka tambak itu, jadi karena arus air sangat deras, maka bapak berniat untuk menutup tambak agar airyang masuk ke dalam sawah tidak terlalu banyak sehingga tidak menenggelamkan tanaman padi.
Bapak 'njegur' ke sungai. Njegur itu manyebrangi sungai. Lebar sungai lumayan. Kisaran 4-5 meter.
Bapak tidak perduli celananya basah walaupun volume air semakin tinggi.
Tampak yabg dibuat bapak hampir tertutup semua. Akhirnya tertutup semua. Akan tetapi, air dari sungai masih bisa masuk ke lahan petak sawah bapak. Tiba-tiba bapak melihat ke arah ku yang duduk di samping motor.
Tatapan bapak seakan mendapatkan insting "klik"
Bapak : "La, cangkule gorene"
Aku, bingung. Aku bingung bukan karena tidak ada cangkul disamping ku. Cangkulnya ada kuk di samping ku. Aku bingung karena ada pertanyaan yang tidak kalah cepat dari pikirannku yang selang beberapa detik dari perintah bapak tadi. (Bagaimana aku memberikan cangkul itu hingga ke lahan sawah bapak?) jawaban pikiran ku.
Apakah aku harus melempar? Tapi apa sampai? Apakah aku harus ikut turun menyebrangi sungai seperti yang dilakukan bapak tadi?
Ah...aku terlalu berpikir.
Mungkin karena aku tidak cepat melakukan perintah bapak, bapak memberikan pertanyaan "kowe ora iso ngelangi ?"
Aku hanya mengangguk.
Kemudian, bapak memberikan opsi pada ku. Bapak mendukungku untuk mencebur.
Bimbang aku. Tapi aku harus mau mencebur bagaimanapun keadaannya. Pikirku, tidak mungkin bapak membiarkanku hanyut. Toh air sungai kecil aja, pasti dalamnya cuma sampai perut. Kemudian aku 'njegur' sambil membawa cangkul.
'Ehladalah....njebule njeru lee kaline'
"Bapak...." aku sambil berwajah cemas. Aku baru sampai tepi sungai...belum ke tengah sungai.
Bapak langsung memberikanku kayu yang posisi awalnya ada di samping beliau.
"Cekelan...."
Aku mulai tenang dan berjalan berlahan.
Semakin menuju tengah, kaki ku semakin tenggelam ke dalam air sungai yang dasarnya adalah tanah liat / gambut(lemah lempung) yang gampang membuat kaki menjadi masuk lebih dalam. Kaki semakin cemas. Tapi aku berpikir positif bahwa tidak mungkin bapak membuatku tenggelam karena bapak sayang aku. Ini sedikit tidak sinkron dengan keadaan yang sedang aku lakukan memang, tapi itulah yang membuat aku berani melanjutkan langkah hingga ke tengah. Tiba-tiba kayu yang aku pegang patah lantarab aku menarik terlalu kencang. Aku semakin panik. Tapi lagi-lagi aku berpikir bahwa bapak tidak akan membiarkan anak bungsunya tenggelam.
Bapak kembali bilang tanpa mengambil tindakan penyelamatan "ora opo-opo..ayo angger mlaku, rak bakal ambles sikelmu nek kowe mlaku."
Aku cemas lebih cemas 3 kali lipat lagi.
Bapak....apakah aku akan engakau biarkan? Pertanyaan dalam hati.
Aku terus berjalan mengikuti kata-kata bapak. Semakin dalam kakiku..semakin dalam dan aku tiba-tiba kehilangan kendali keseimbangan. Aku hampir terjatuh. Saat seperti ini aku masih berpikir bahwa bapak tidak akan membiarkan aku tenggelam dan hanyut sia-sia di sungai.
Melihat aku, bapak tanpa memberikan pertolongan. Bapak hanya melihat. Aku berusaha terus untuk kembali seimbang dan kakiku tidak terasa terperangkap semakin dalam di tanah lumpur sungai ini.
Ternyata aku hampir sampai tepi.
Langkah tinggal satu lagi.
Wahasil...aku menepi.
Bapak mengulurkan tangannya utk mengambil cangkul dari tanganku. Setelah itu bapak membiarkanku masih ditepi sungai. Aku sedikit jengkel dan hampir emosi (nesu, bahasa jawa) karena tidak membantu ku untuk naik ke atas galeng (tanggul). Aku masih berpikir namun bukan bapak sayang sama aku tetapi aku berpikir pasti bapak punya alasan kenapa aku tidak ditarik untuk naik diatas tanggul sawah bapak.
Posisi bapak awalnya berada di dalam petakan sawah bapak sendiri, kemudian bapak pindah posisi di atas tanggul untuk memastikan kalau tambak yang dibuatnya ini tidak akan membuat air bisa masuk ke lahan petakan sawahnya. Bapak sangat berhati-hati waktu naik. Karena bapak mungkin sudah tahu bagaimana keadaan tanggul miliknya. Aku tetap masa bodo/tidak perduli, aku tetap marah dengan wajah cemberut. Bapak melihatku.
Bapak yang tadinya sangat pelan-pelan dalam melangkah naik ke atas tambak..tiba-tiba menambah kecepatan langkahnya untuk segera naik setelah melihat ekspresi jengkel ku yang kaki ku masih di dalam sungai.
Bapak terpleset dan aku tidak sengaja bisa menangkap badan beliau.
Aku sedikit kaget.
Bapak bilang "Tambak iki soko lemah lempung, iki lunyu, mulane bapak pingen kowe tetep neng kali, ben ora kepleset kaya bapak".
Aku terperangah mendengar penjelasan bapak.
Setelah selesai, aku & bapak pulang ke rumah dengan naim sepeda motor seperti saat kita berangkat tadi.
Ini bagaikan filosofi part-part of my life.
Ketika aku gagal, belum diberikan kesempatan untuk menang saat hasil lomba dibacakan, aku tidak selalu berada di peringkat satu dalam kelas. Inilah jawabannya.
Aku yakin Allah sayang aku.
Aku sering sekali terpleset di langkah ku
Bahkan aku pernah terjatuh. Aku selalu memberikan pertanyaan kepada Allah, kenapa aku tidak pernah menang? Kenapa aku selalu kalah dalam lomba?
Sesekali aku curhat ke saudara kembar ku. Dia selalu bilang "Kamu yang selalu menang dari aku La"
Aku bertanya balik lebih tegang "Aku gak pernah menang setiap kali mengikuti lomba sampai saat ini, kamu..kamu selalu menang. Kamu juara, terus aku menangnya dimana?"
Aku jengkel, kadang aku capek untuk berdoa. Aku enggan mengikuti lomba itu.
Dia bilang "Menang kuwi uwes ono jatahe, La"
Aku semakin berpikir karena kamu yang juara jadi kamu bisa mengucap itu.
Kadang akau merasa tak adil. akau berpikir yang macam-macam ke Allah.
Aku terkadang berpikir, apasih yang dilakukan dia? Ibadahnya seperti apa?
Sungguh, ini pertanyaan yang muncul dari mana.
Tetapi semakin akau bertanya, terkadang semakin aku menyadari bahwa hikmah ini sangatlah besar. Aku tahu hikmah itu. Ada Allah yang selalu sayang.
Aku menang sekarang, aku akan sangat bangga, senang dan cepat puas. Sehingga aku keenakkan.
Ini yang membuat aku harus menunggu giliranku. Entah kebagian giliran/tidak.
Pertanyaanku itu membuat aku berpikir lagi, kenapa ibadah menjadi hal yang sangat komersial untuk mendapatkan hadiah, lebih parahnya lagi mendapat keuntungan dari Allah.
Aku akan menjalani apa yang aku suka, tidak beban, dan aku enjoy.
Beginilah sekarang pola pikir yang saya bentuk.
Allah membuat kita berpikir, merasakan gagal, sedih, kecewa, emosi, tapi Allah yang sebenarnya, Allah mampu tahu lebih dari ketahuanku terhadap diri ku.
Jadi, ikhlaskan, rodhoi, dan terima apapun jalan yang telah kamu lalui, rasa yang telah kamu rasakan, pilihan yang sudah kamu pilih, dan hal yang sudah terjadi. Itu yang membuat mu semakin menghebatkan jiwa dan batin mu.
Dunia ini hanya SIH.
Ini adalah eksistensi (yang kamu ingin lakukan, lakukanlah)
16.37
Ujungpandan
Welahan, Jepara
Lns
Salamkertaslipatputih.
Komentar
Posting Komentar